Sunday, September 1, 2013

Nagari Elok di Tepian Singkarak

Nagari Sumpur bagai lukisan di atas kartu pos. Kabut pagi menyelimuti perkampungan, sawah, danau, dan pepohonan, membuat segalanya berwarna lembut. Bagaimana bisa desa secantik itu ditinggal pergi sebagian penghuninya?Suasana Nagari Sumpur setenang permukaan air Danau Singkarak. Angin sejuk segar mendesau pelan mempermainkan dahan-dahan pohon sawo manila yang tumbuh subur di Sumpur. Nagari yang masuk ke dalam wilayah Kecamatan Batipu Selatan, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat, itu memang penghasil sawo. Buah sawo dari Sumpur berasa manis-segar.
Pemandangan Danau Singkarak dari ketinggian di perbukitan di Sumpur, Tanah Datar, Sumatera Barat.
Pemandangan Danau Singkarak dari ketinggian di perbukitan di Sumpur, Tanah Datar, Sumatera Barat.

Hari masih pagi. Belum banyak aktivitas yang dilakukan warga. Hanya ada beberapa petani sedang menandur di sawah dan segerombolan burung bangau putih yang sedang mencari makan. Kami membelah jalan sempit dan berkelok menuju jantung nagari yang terletak tepat di bibir Danau Singkarak.

Semakin masuk ke nagari itu, semakin jelas pesona Danau Singkarak. Permukaan air danau diliputi kabut tipis, seolah menyimpan rahasia proses pembentukannya yang dahsyat jutaan tahun silam. Dan, rahasia itu baru sebagian saja yang bisa diungkap para ahli.

Hasil penelitian geolog senior dari Institut Teknologi Bandung, MT Zen, tahun 1970, menunjukkan, Singkarak terbentuk akibat proses tektonik dari sesar-sesar yang ada di sekitarnya. Danau ini merupakan bagian dari cekungan memanjang Singkarak-Solok yang merupakan salah satu segmen Sesar Besar Sumatera. Cekungan besar yang memanjang itu kemudian terbendung material letusan gunung api muda Marapi, Singgalang, dan Tandikat di sisi barat laut. Di sisi tenggara terbendung oleh endapan material letusan Gunung Talang (Kompas, 8/4/2012).

Maka, jadilah Danau Singkarak, danau yang membentang di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Masih ada sejumlah penelitian lain yang mencoba mengungkapkan sebagian rahasia danau seluas 107,8 kilometer persegi itu.

Tanpa bermaksud mengungkap rahasia lain Singkarak, pagi itu kami turun dari mobil dan berperahu menyusuri Danau Singkarak yang tenang. Dari tengah danau, pucuk Gunung Marapi dan Singgalang terlihat bersembunyi di antara batas awan dan bukit hijau. Ke bawah sedikit, tebing-tebing cadas yang menopang bukit menghunjam ke dalam danau.

Di antara batas air danau dan daratan, pohon-pohon kelapa tumbuh berderet. Di sanalah ibu-ibu pencari kerang biasa istirahat setelah berjam-jam berendam mengais kerang dari dasar danau. Tidak jauh dari situ, puluhan laki-laki menebar jala untuk menangkap ikan bilih (Mystacoleucus padangensis) dan sasau (Hampala mocrolepidota). Keduanya adalah ikan endemik bercita rasa gurih lezat. Setiap hari, puluhan bahkan ratusan kilogram ikan bilih diangkut para nelayan danau.


Rumah gadang
Kini saatnya menjamah Nagari Sumpur lebih dalam lagi melalui jalan beraspal yang kian sempit. Kami tiba di Jorong Nagari yang tumbuh di bukit dengan ketinggian 500-an meter dari atas permukaan laut. Wajah asli Tanah Minang seperti yang kita lihat di kartu pos, masih tampak di nagari itu di tengah sisa-sisa keliaran hutan Sumatera. Ketika malam, gelap menyelimuti beberapa bagian desa dengan sempurna. Tidak heran jika nagari itu kerap dipilih sejumlah sutradara sebagai lokasi syuting film berlatar cerita Tanah Minang di masa lalu.

Namun, kondisi kampung itu tak seluruhnya seindah gambar-gambar di film atau sinetron. Tengoklah, rumah-rumah gadang berusia di atas 100 tahun di nagari itu, sebagian sedang menuju kepunahannya. Gonjong-gonjongnya tak lagi gagah memanjat langit. Dinding-dindingnya menghitam dimakan usia. Beberapa rumah gadang bahkan sudah miring karena kayu penyangga utamanya terlepas.

Wali Jorong Nagari Hendri mengatakan, banyak rumah gadang di Sumpur yang sudah ambruk. Dulu—tanpa menyebut tahun—ada 200-an rumah gadang di Jorong Nagari. Kini, rumah gadang yang tersisa di seluruh Sumpur sekitar 45 buah, 25 buah di antaranya ada di Jorong Nagari. Mei lalu, rumah gadang di Sumpur berkurang lagi setelah lima rumah gadang disambar petir hingga ludes terbakar.

Hendri membawa kami ke lokasi lima rumah gadang yang terbakar itu. Kayu-kayu rumah gadang tersebut telah berubah jadi arang. Rumah gadang itu, kata Hendri, milik Munir Datuk Batuah yang ditunggui dengan setia oleh Nasri (69). Munir tinggal di Jawa. Hanya saat panen padi atau ada upacara adat saja pemilik rumah datang ke kampung.

Hendri menambahkan, rumah- rumah gadang di Sumpur sebagian besar ditinggalkan penghuninya. Itu sebabnya rumah tak terawat selama bertahun-tahun. Fenomena itu juga terjadi di daerah lain di hampir semua nagari di Sumatera Barat. Padahal, posisi rumah gadang sangat penting untuk memelihara kekerabatan orang Minang.

Mengapa rumah gadang dan nagari nan elok itu ditinggal penghuninya?

Seperti warga Minang lainnya, warga Sumpur banyak yang merantau. Beberapa di antara mereka jarang sekali pulang kampung dan menengok rumah gadang kaumnya. ”Paling mereka menitipkan perawatan rumah gadang ke keluarga atau tetangga, tapi orang yang merawat pun merantau pula,” kata Hendri.

Tidak ingin rumah-rumah gadang tua runtuh satu per satu, Ikatan Keluarga Sumpur (Ikes) yang tinggal di rantau dan masyarakat Sumpur menggelar Forum Kampuang Minang Nagari Sumpur pada pertengahan Juli lalu di Jorong Nagari, Sumpur. Mereka duduk bersama para datuk, ninik mamak, Bupati Tanah Datar M Shadiq Pasadigoe, dan sejumlah ahli seperti Yori Antar, arsitek yang berhasil merestorasi Desa Adat Wae Rebo di Flores, NTT; Catrini Pratihari, Direktur Eksekutif Badan Pelestari Pusaka Indonesia; Eko Alvares Z dari Pusat Studi Konservasi Arsitektur Universitas Bung Hatta; Nurmatias, Kepala Badan Pelestarian Nilai Budaya; dan Fitra Arda Sambas, Kepala Badan Pelestarian Peninggalan Purbakala.

Dalam pertemuan itu, mereka sepakat untuk merestorasi rumah gadang. Restorasi dilaksanakan langsung oleh masyarakat setempat. Dengan cara itu, mereka akan membongkar lagi pengetahuan membangun rumah gadang seperti yang diturunkan para tetuanya. ”Pendekatannya harus partisipatif, tidak boleh berdasarkan proyek,” saran Yori yang mendapatkan penghargaan dari UNESCO karena membantu menyelamatkan Desa Adat Wae Rebo.

Selepas Lebaran, masyarakat Sumpur, para datuk, ninik mamak, IKES, dan para ahli masih menggodok rencana restorasi itu. Mereka berharap, jika restorasi rumah gadang dan desa adat berhasil, Nagari Sumpur tak akan ditelantarkan penghuninya lagi.

”Keindahannya terlalu sulit untuk dilupakan,” kata Dommy, laki-laki Jakarta yang menikah dengan gadis Sumpur.

No comments:

Post a Comment